Saat lidah bersabda

Secangkir kopi di hari yang tenang. Ini bukan sekadar persoalan gaya, tapi juga kelas. Ini bukan masalah selera. Namun bagaimana kelas itu ditentukan? Bisnis kopi bisnis cita rasa. Tak mudah mendefinisikan mutu berdasarkan cita rasa. Ini bukan persoalan cita rasa barang X lebih baik daripada barang Y. Toh pada akhirnya barang X dan Y, dalam komoditas kopi, sama-sama memiliki pasarnya masing-masing. Ini masalah akurasi dalam mengalokasikan komoditas di tempat tertentu. Pengalokasian yang tak tepat bisa bikin bisnis jadi gawat. Kesalahan penentuan komoditas tertentu untuk pelanggan tertentu akan membuat kepercayaan hilang. Trust (kepercayaan)menjadi sangat penting. Dalam bisnis kopi, sang pencicip cita rasa (tester) menjadi kunci terciptanya kepercayaan itu. Jumlah mereka tak banyak, karena melatih cita rasa dan mendeskripsikannya butuh waktu dan tak bisa diciptakan dalam semalam. Di bisnis kopi, sang penguji cita rasa perlu mendapat sertifikat dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Mendefinisikan aroma dan cita rasa kopi dengan lidah dan hidung tak terkait dengan selera. Sebuah proses yang ganjil, karena menyilangkan proses kualitatif menjadi kuantitatif. Dugel Hariyadi, salah satu ahli tester di laboratorium mutu Kebun Kalisat Jampit, PT Perkebunan Nusantara 12, Desa Jampit Kecamatan Sempol, Bondowoso, butuh waktu setahun untuk belajar, dan dua tahun untuk menjadi lebih mahir. “Yang membedakan antara kopi luwak dengan kopi biasa adalah aftertase (rasa yang tersisa di lidah).Kalau diibaratkan begini: jika kita minum kopi biasa, perjalanan dari sini sampai Bondowoso, cita rasa itu hilang. Tapi kalau kopi luwak, cita rasanya bisa terbawa sampai Surabaya. Jadi lebih lama,” kata Dugel, saat kami bertemu dengannya medio 2011 lalu. Kopi luwak Arabika dan robusta pun berbeda. “Kopi luwak robusta lebih kuat di body (kesan), Arabika lebih kuat di acidity,” kata Dugel. Kopi robusta dan arabika PTPN 12 memiliki pasar ekspor yang kuat. Cita rasa adalah sesuatu yang misterius. Masalah subjektivitas ini bisa menjadi perkara pelik. Mungkin yang tak boleh dilupakan adalah komunikasi antara produsen dan pembeli. Ini pelajaran klasik dalam ilmu ekonomi mana pun. Namun apa yang klasik tidak menjadi klise. Komunikasi membangun kepercayaan, trust. Dan pada dasarnya di tengah beragamnya pilihan, komunikasi menjadi faktor pengikat agar pembeli tak lari. []

About Author

client-photo-1
jt