Namanya: Sukarno Dwidjo Asmoro. Ia lahir di Nganjuk, Jawa Timur, 10 Juni 1943. Namun sebagian besar hidupnya diabdikan untuk dunia kesenian tradisional di Kabupaten Ia mendirikan Sanggar Seni Laras Agung agar sejumlah seni tradisi tak mati digilas zaman. Reporter Halo Jember menghadirkan wawancara dengannya kali ini.

Bagaimana awalnya Anda mendirikan Sanggar Seni Laras Agung? Sanggar seni ini berdiri pada 1 april 1992. Pengembangan seni budaya makin lama makin tersisih oleh pengaruh global. Mbah karno tahu tentang itu. Mbah karno nekat dengan biaya sendiri, upaya sendiri, melestarikan itu dengan cara mendirikan sanggar. Sanggar ini wadah kesenian yang isinya beraneka ragam, terutama dari seni tradisional Jawa. Seni Jawa adilihung pada akhirnya punah, misalnya wayang purwo, wayang orang, ketoprak, ludruk, janger dan seni lain, karena generasi muda makin lama makin enggan untuk melihat dan mempelajari kesenian budaya kita sendiri. Mereka lebih cenderung memilih kesenian modern, yang serba cepat dan alat serba canggih. Saya sudah merasakan mempelajari seni tradisi memerlukan waktu lama. Seperti menari, kalau penari modern seperti breakdance, tak sampai sehari sudah bisa. Tapi menari remo, menari Gatot Kaca Gandrung, tarian topeng Malang, memerlukan waktu lama. Maka Mbah Karno nekat. Jadi wadah ini yang isinya semula tingkat TK, umum, dan mahasiswa, di sini menampung semua unsur dari anak-anak yang mau dan ikhlas melestarikan budaya adiluhung.

Apa saja yang diajarkan di sini? Macam-macam, ada mendalang, nabuh gamelan, karawitan musik Jawa, tari tradisional. Ada juga seni teater seperti ketoprak, ludruk, janger. Teater yang memerlukan bahasa daerah Madura dan Jawa. Ada tarian busana manten, menyiapkan upacara manten lengkap. Awalnya yang mengajar saya sendiri, karena saya belum punya kader. Lama-kelamaan setelah anak-anak dikuliahkan tingkat atas, akhirnya punya pengalaman mengajarkan kesenian. Itu kita jadikan sokoguru sanggar ini. Personil sanggar 65 putra dan putri. Kadernya mencapai 10 orang. Kader dari perguruan tinggi seperti ISI surakarta, STKW Jawa Timur dan Bali.

Apakah sulit mencari orang yang mau belajar ke sanggar ini? Tidak sulit, setelah cukup dikenal masyarakat. Pada umumnya para guru SD, SMP, SMA mengenal Mbah Karno, sampai ke Universitas Jember. Mbah Karno tidak kehabisan tunas. Rata-rata yang diterima di sini sekitar 50-60 setiap tahun, mulai dari tingkat TK sampai perguruan tinggi. Sekitar 75 persen siswa sini dari lingkungan Kecamatan Gumukmas, Kencong, Puger, dan Kota Jember. Yang dari Jember kebanyakan mahasiswa. Soal pembiayaan sanggar? Terus terang saja, ini semua saya tanggung sendiri. Mulai Mbah Karno jadi pejabat guru, lalu penilik kebudayaan. Semua saya tanggung. Baru akhir-akhi ini Mbah Karno diperhatikan pemerintah, mendapat kucuran dana yang patut untuk membiayai sanggar ini.

Apa suka duka mengelola sanggar ini? Sukanya kalau siswa lulusan di sini tampil bagus, dan rata-rata mereka bisa hidup karena ilmu yang saya berikan. Dalang, pesinden, Mbah karno cetak dari nol. Setelah sinden terkenal, lalu laris tidak pernah istirahat, duitnya banyak.

Ada pengalaman berkesan? Dulu awalnya masyarakat di sini ada yang tidak seide, misalnya unsur agama. Ada yang masih tabu menyaksikan kesenian ini, karena katanya haram, katanya tak sesuai lingkungan sini. Tapi setelah mengerti langkah Mbah Karno membina sanggar ini, para tokoh agama datang ke sini, merangkul Mbah Karno dan ikut mendukung. Mbah karno tak keberatan, suatu saat jika dibutuhkan beliau dari pondok pesantren, kiai-kiai membutuhkan apa, kami bantu.

Masa-masa sulit? Masa-masa sulit saat sumber pembiayaan minim. Hanya dari penghasilan Mbah Karno sendiri. Tapi setelah pemerintah tahu tentang Mbah Karno, ada perhatian khusus untuk sanggar ini. Mulai dari Pak Bupati Djalal menaruh perhatian, pernah memberi bantuan layak bagi sanggar Mbah Karno. Terakhir dari Badan Pelestari Nilai Budaya memberikan bantuan untuk pelestarian sanggar ini.