Reog memang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur. Namun di Jember, reog juga menemukan rumahnya, terutama di wilayah selatan. Bahkan, di Jember, reog tak hanya dimainkan oleh mereka yang berasal atau memiliki pertalian darah dengan warga Ponorogo. Bagaimana reog bisa sampai di Jember? Semua berawal dari upaya pemerintah kolonial membawa para kuli perkebunan dari wilayah Mataraman untuk bekerja di Jember. Belanda menjadikan Jember sebagai daerah pemasok hasil perkebunan, mulai dari tembakau hingga gula. Dipisahkan dari kampung halaman, para kuli ini membentuk kelompok-kelompok seni reog sebagai bagian dari penguatan identitas diri. Ada dua kelompok reog tertua di Jember, yakni di Desa Pontang Kecamatan Ambulu dan Desa Kesilir Kecamatan Wuluhan. Mereka sudah ada sejak tahun 1950-an. Bahkan, ada yang  mengatakan, sejak tahun 1920-an. Saat ini, ada 23 kelompok reog di Jember, yang antara lain tersebar di wilayah Jember selatan, seperti Kalisanen, Sidodadi, Pontang, Ambulu, Wuluhan, hingga Kecamatan Kencong. Mereka mengelola kelompok ini dengan swadaya dan kemandirian. Sulit berharap sepenuhnya dari pemerintah daerah. Untunglah ada Universitas Jember mengisi kekosongan. Di sini, lahir paguyuban seni reog mahasiswa bernama Sardulo Anorogo, yang berarti harimau yang rendah hati. Rektorat juga menyokong kegiatan reog, dengan membuat acara pentas kolosal setiap tahun yang dibarengkan dengan peringatan hari jadi perguruan tinggi itu. Selama ini, ada persoalan regenerasi kelompok reog yang berada jauh dari Ponorogo. Regenerasi paling sulit ada di posisi pembarong dan pengrawit, terutama untuk posisi peniup terompet dan penabuh kendang. Kehadiran Sardulo Anorogo di Jember membuat persebaran peminat reog lebih beragam, dan ini mempermudah regenerasi. Anggota paguyuban mereka berasal dari Lumajang, Gresik, Tulungagung, Jember, Probolinggo, dan bahkan dari Bali. Jika dihitung sejak 1993 hingga saat ini, paguyuban tersebut sudah memiliki seribu anggota. Sebagian dari mereka kini memiliki kelompok reog sendiri atau melatih di sekolah-sekolah di Ngawi, Madiun, atau di Ponorogo sendiri. Kemampuan berdiaspora ini yang membuat reog sulit mati. Dari sisi pakem, Sardulo Anorogo juga mampu menyumbangkan warna tersendiri. Sardulo Anorogo mengadaptasi gerakan-gerakan seni tradisi lain, seperti gaya gamelan Banyuwangi, gamelan jaranan, atau penambahan model atraksi. Pakem utama memang masih ke reog Ponorogo, namun ada warna lokalitas Pendalungan. Saat Malaysia mengklaim kesenian ini, para pegiatnya justru bangkit dan bersemangat lebih daripada biasanya. Mereka ingin menunjukkan, bahwa reog adalah milik Indonesia.