Ini acara ritual tahunan. Namanya larung sesaji, siang itu digelar di Pantai Pasir Putih Malikan (Papuma). Ada keriuhan, ditingkahi wangi asap dupa, kemenyan. Sepotong kepala kambing diletakkan di atas miniatur kapal dan diarak bersama-sama menuju  samudera. Para pengaraknya memakai pakaian adat Jawa, dengan iringan reog Singo Budoyo. Di tengah pantai Papuma, sejumlah sesepuh mendorong ‘kapal’ sesaji itu ke tengah laut. Sesaji itu adalah perwujudan rasa syukur masyarakat nelayan di selatan Jember, atas melimpahnya panen ikan tahun ini. Mereka berharap, panen ikan terjadi sepanjang tahun. Selamanya. Larung sesaji juga lukisan harmoni masyarakat Jember selatan. Seniman, jagawana, polisi, tokoh adat, tokoh agama, dan penjaga vihara, tumplek blek. Tahun lalu, barongsai menjadi seni tradisi yang dimainkan. Tahun ini, reog menjadi pilihan. Malam sebelumnya, wayang kulit sudah digelar, mendahului acara larung di siang itu. Bagi sebagian kalangan, larung sesaji adalah perpaduan atau sinkretisme sejumlah elemen agama: Islam, kejawen, Konghucu. Acara ini sudah lima kali digelar selama lima tahun terakhir. Dalam perkembangannya semakin banyak masyarakat dan wisatawan yang tertarik pada upacara ini. Tentu saja, ini aset wisata budaya yang unik dan menarik. Tak hanya mempromosikan keindahan, tapi juga makna kedamaian sebuah perbedaan dalam masyarakat yang beragam.