Kemakmuran di Jalan Cinta

Rabu, 15 Juni 2011. Sebuah Festival Kopi Nusantara digelar oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslit Koka) Indonesia di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Sejumlah pemilik kafe dari Australia dan Jakarta diundang untuk menguji cita rasa kopi jenis robusta dan arabika dari pelosok nusantara, seperti Aceh, Jambi, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua, dan Garahan Kecamatan Silo, Jember. Kopi Garahan adalah bagian dari tafsir atas kemakmuran di tepi hutan Baban Silosanen. Di sana kemiskinan tak bisa ditafsirkan dengan angka statistik. Tak bisa pula diidentifi kasi dengan kriteria baku nan kaku. Di sana, ekonomi dan kesejahteraan hadir dengan kriteria kebahagiaan. Mungkin juga kebanggaan. Baiklah, mari kita mulai. Desa itu bernama Mulyorejo, terletak di Kecamatan Silo, dan meliputi lima dusun: Baban Timur, Baban Barat, Baban Tengah, Batu Ampar, dan Silosanen. Sebanyak 5.106 keluarga di desa tersebut tinggal di tepi, bahkan di dalam hutan. Jalan menuju ke sana tak beraspal. Jika musim kemarau, laju sepeda motor dan kendaraan roda empat menerbangkan debu ke mana-mana, menempel ke pakaian. Baju warna putih bisa berubah agak kecoklatan. Saat musim hujan, jalanan berubah menjadi lumpur. Warga terpaksa membelitkan rantai ke roda sepeda motor mereka, agar tak mudah tergelincir saat melewati jalanan. Warga setempat punya humor kecil untuk jalanan desa mereka: ini jalan cinta. Disebut jalan cinta, karena itu tadi: debu menempel ke baju saat kemarau, dan lumpur lengket ke pakaian saat hujan. Lengket seperti orang jatuh cinta. Desember 2007, Komandan Distrik Militer 0824 Letnan Kolonel Infantri Mulyoaji mengunjungi hutan Baban. Ia sempat terjatuh dari sepeda motor trail yang ditungganginya, saat melewati jalan yang sulit. Ia terpaksa memakai kayu penyangga untuk berjalan beberapa bulan. Tulang kakinya retak. Tahun 1998, saat reformasi bergulir, rakyat mulai menduduki lahan perkebunan dan hutan yang semula dikuasai negara. Di Jember, ada 50 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang beranggotakan sekitar 52 ribu orang yang tersebar di 16 kecamatan. Masingmasing LMDH bisa memproduksi kopi sekitar 100-150 ton setiap tahun. Mereka bercocok tanam di lereng Argopuro, Raung, daerah Baban Silosanen, dengan rata-rata luas di kawasan pemangku desa 600 – 1.500 hektare. Kalau dikalkulasi, masing-masing LMDH yang bergiat di budidaya kopi, bisa menghasilkan 300 ton kopi per tahun. Satu hektare lahan bisa menghasilkan 12 kuintal biji kopi. Dengan biaya produksi Rp 2 – 3 juta per hektare, petani bisa meraup pemasukan Rp 40 – 50 juta per hektare. Sebagian besar warga di Baban Silosanen berbudidaya tanaman kopi di hutan dan tepian hutan. Dengan kisaran harga penjualan kopi sekitar Rp 17-20 ribu per kilogram di tingkat tengkulak, mereka merasa cukup makmur. Bagi orang kota dan para petugas Badan Pusat Statistik, sebagian besar warga Mulyorejo masuk kategori miskin. Rumah mereka terbuat dari bambu. Sebagian ada yang memakai batu bata, memang. Namun di bagian lain dinding rumah tetap terbuat dari anyaman bambu. Sebagian besar rumah warga juga tidak teraliri listrik. PLN masih memiliki arti Perusahaan Listrik Negara, dan belum berubah menjadi Perusahaan Listrik Nekat yang mau membangun instalasi jaringan di sana dengan ongkos besar. Pemerintah Kabupaten Jember hanya mampu memberikan bantuan pembangkit listrik tenaga surya untuk kurang lebih 200 rumah. Sekitar 30 persen warga patunganmenggunakan generator. Namun sebagian lainnya menerangi malam dengan lampu teplok alias ublik. Minyak tanah sulit didapat. Sekalipun ada, harganya mencapai Rp 15 ribu per liter. Mereka akhirnya berinovasi dengan menggunakan aki sebagai pemicu tenaga listrik. Tentu saja, lampu tak sangat benderang di sana. Rata-rata pengeluaran mereka per hari untuk membiayai kebutuhan hidup paling banter sekitar Rp 15 ribu, bahkan kurang. Bank Dunia menyatakan, kelompok kelas menengah mengeluarkan duit per kapita per hari 2-20 dollar Amerika Serikat, atau sekitar Rp 19 – 180 ribu per hari. Jadi jelas, para warga di tepi hutan itu bukan bagian dari kelas menengah versi Bank Dunia. Jika hanya menghitung elemen pangan sebagai kebutuhan hidup. Namun, kehidupan tak hanya urusan makanan seadanya, tapi juga kelayakan. Departemen Sosial memberikan batasan garis kemiskinan pada sejumlah rupiah untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2.100 kilo per kalori per orang setiap hari, dan kebutuhan di luar pangan seperti rumah, pendidikan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Pencapaian pendidikan jelas membutuhkan biaya tak sedikit. Infrastruktur sekolah di Mulyorejo hanya memenuhi kebutuhan pendidikan sembilan tahun. Di sana hanya ada sekolah dasar, dan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dalam satu atap. Warga tak terlampau peduli dengan pendidikan formal. Secara umum, Kecamatan Silo menempati urutan dua jumlah anak yang tidak bersekolah dari 31 kecamatan. Mereka yang tidak bersekolahini termasuk dalam kelompok rumah tangga atau individu dengan kondisi kesejahteraan sampai dengan 30 persen terendah di Indonesia. Tabungan ikut menentukan tingkat kesejahteraan. Namun mayoritas warga di tepi hutan tak memiliki akses perbankan. Layaknya masyarakat pedesaan di Jember, khususnya Madura,kelebihan uang dirupakan dalam bentuk pembelian ternak sapi. Sapi ini bisa dirawat orang lain (digaduh), dengan imbalan bagi hasil saat penjualan, atau sang perawat mendapat bagian satu ekor anak sapi jika sapi itu beranak. Namun singkirkan dulu masalah pembelian sapi sebagai bagian dari model tabungan atau investasi tradisional. Saat musim panen kopi tiba, warga mendapat pemasukan lumayan besar. Namun prioritas utama bukanlah membeli sapi atau barang-barang kebutuhan lain. Mereka lebih suka menggunakan uang penjualan kopi untuk mendaftarkan haji bersama-sama. Sekitar 70 persen warga Dusun Baban Barat sudah berhaji. Warga agak enggan menggunakan uang hasil penjualan kopi untuk memperbaiki rumah. Biaya bahan material bangunan bisa tiga kali lipat harganya. Ini dikarenakan jauhnya jarak pemukiman warga dengan pusat kota kecamatan. Maka, tak heran jika kemudian sekitar 70 persen rumah warga masih terbuat dari bambu dan berlantai tanah liat. Ini bukan mendramatisasi lirik lagu kelompok musik rock God Bless: ‘Hanya bilik bambu tempat tingga; kita, tanpa hiasan tanpa lukisan…beralaskan tanah. Namun semua ini milik kita’. Kondisi itu memang sudah cukup membuat mereka bahagia. Pembukaan lahan kopi di hutan berarti perbaikan perekonomian. Masyarakat di sana tidak bingung mencari makan dan tak perlu jadi urban ke kota.

About Author

client-photo-1
jt