Sebagai tindak lanjut dari kegiatan Pemilihan Gus dan Ning 2013, para Duta Wisata terpilih medapat kesempatan untuk mengikuti pelatihan Pemandu Wisata yang diselenggarakan di Hotel Royal dan Wisata Tanjung Papuma pada tanggal 7 dan 8 Juni 2014. Dalam kesempatan ini para Duta Wisata diberikan materi tentang teknik teknik memandu wisatawan serta gambaran secara umum tentang Event Organizer. Diharapkan para Duta Wisata menjadi lebih matang dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pelayanan kepada wisatawan maupun tamu daerah dalam memberikan informasi tentang obyek wisata yang ada di jember. Selain itu, para Duta Wisata mendapat bekal/pengetahuan dasar tentang EO dimana diharapkan akan mampu menggagas serta melaksanakan event pariwisata supaya dapat lebih berkiprah dalam pembangunan pariwisata di Jember. Tidak kalah penting dalam kesempatan ini dilaksanakan kegiatan outbound yang bertujuan untuk memperkuat motivasi diri serta semangat untuk bekerja sama dalam mendidik diri menjadi Duta Wisata yang kompeten untuk kemajuan pariwisata di Jember.

http://www.youtube.com/watch?v=5JeSq_U4MBk

Kelompok Belajar dan Bermain Tanoker menggelar festival egrang di alunalun Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember, Jawa Timur secara rutin setiap tahun. Festival egrang digelar oleh Tanoker, sebuah kelompok belajar dan bermain anak-anak. Ada 27 kelompok egrang yang tampil dengan berbagai atraksi unik, mulai dari bermain, bernyanyi, hingga menari dan melompat-lompat dengan menggunakan egrang. Anggota kelompok adalah anak-anak yang berusia sekolah dasar hingga sekolah menengah. Festival kali ini dihadiri Gusti Kanjeng Ratu Hemas, istri Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI. “Selama masa liburan, anak Indonesia seharusnya mengenal permainan tradisional Indonesia,” katanya. Dengan permainan tradisional, anak-anak belajar untuk bersosialisasi. Pengembangan permainan anak tradisional adalah salah  satu upaya untuk memerhatikan persoalan-persoalan yang dihadapi anak-anak.

Apa yang menarik dari permainan egrang? Ciciek Farha, sang penggagas Tanoker, Egrang dalam konteksi multikultur, sengaja atau tidak, ternyata bukan hanya ada di Indonesia. “Saya chatting dengan kawan di Belanda, Jepang, Australia, ternyata di sanaegrang ada. Ini berarti budaya internasional. Tidak tahu siapa yang mulai.,’’katanya. Suporahardjo, suami Ciciek, mengatakan egrang dikelola sebagai entertainment atau hiburan. Di sanalah semangat festival hadir. “Saya kira Jember punya banyak anak-anak potensial untuk membangun egrang sebagai permainan yang menghibur. Bagus buat anakanak bermain menyalurkan energi. Anak-anak lebih sehat, mengatur keseimbangan. Dari segi pengendalian diri juga lebih bagus buat anak-anak,” katanya.

Official link : http://id.tanoker.org/index.php/festival-egrang.html

Kuliner sebagai penunjang aktifitas pariwisata memegang peranan penting sebagai unsur kekuatan produk wisata suatu daerah. Bahkan akhir akhir ini banyak yang khusus melakukan perjalanan untuk melakukan “Wisata Kuliner”. Tren positif ini mendapat perhatian khusus dari Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jember hingga muncul upaya-upaya untuk memperkuat produk Kuliner Jember, diantaranya dengan melangsungkan Festival Kuliner Jember 2014 yang dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 2014 bertempat di Hotel Panorama Jember. Kegiatan ini diharapkan dapat memacu semangat pelaku Kuliner Jember untuk bersaing meberikan pelayanan terbaik kepada para penikmat kuliner dan tetap mempertahankan atau bahkan meningkatkan kekuatan cita rasa koleksi menu yang dimiliki. Ajang ini juga diharapkan dapat merangsang kreatifitas para pelaku kuliner untuk selalu berinovasi dalam memberikan penyajian yang menarik dan menggugah selera. Pemenang festival ini berhak mengikuti festival di tingkat propinsi pada tahun berikutnya untuk bertanding dengan peserta dari Kabupaten/Kota dari seluruh Jawa Timur.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Timur mempunyai agenda tahunan penyelenggaraan Festival Makanan Khas Jawa Timur dimana babak penyisihan pada tahun 2014 ini dilangsungkan pada tanggal 14 Mei 2014 bertempat di Hotel Harris, Kota Malang. Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jember secara aktif mendukung kegiatan tersebut dengan mengirimkan peserta setiap tahun dari pelaku usaha kuliner di Kab. Jember. Kesempatan pada tahun ini dipercayaka kepada Catering Wilda yang telah mempersiapkan beberapa menu andalan antara lain Oseng-oseng Kembang Kates dan Sate Kul.
Segala upaya dan kreatifitas yang dipersembahkan oleh Catering Wilda ternyata tidak sia-sia, pada babak penyisihan tingkat Bakorwil Malang dan Pamekasan ini memperoleh Juara II yang mana berhak untuk maju ke babak Final yang akan dilaksanakan di Surabaya pada tanggal 24 Juni 2014 bertempat di Hotel Singgasana. Kita harapkan pada pertandingan Final nanti Catering Wilda tetap memberikan performa yang terbaik dan mendapat prestasi di tingkat Jawa Timur.

Secangkir kopi di hari yang tenang. Ini bukan sekadar persoalan gaya, tapi juga kelas. Ini bukan masalah selera. Namun bagaimana kelas itu ditentukan? Bisnis kopi bisnis cita rasa. Tak mudah mendefinisikan mutu berdasarkan cita rasa. Ini bukan persoalan cita rasa barang X lebih baik daripada barang Y. Toh pada akhirnya barang X dan Y, dalam komoditas kopi, sama-sama memiliki pasarnya masing-masing. Ini masalah akurasi dalam mengalokasikan komoditas di tempat tertentu. Pengalokasian yang tak tepat bisa bikin bisnis jadi gawat. Kesalahan penentuan komoditas tertentu untuk pelanggan tertentu akan membuat kepercayaan hilang. Trust (kepercayaan)menjadi sangat penting. Dalam bisnis kopi, sang pencicip cita rasa (tester) menjadi kunci terciptanya kepercayaan itu. Jumlah mereka tak banyak, karena melatih cita rasa dan mendeskripsikannya butuh waktu dan tak bisa diciptakan dalam semalam. Di bisnis kopi, sang penguji cita rasa perlu mendapat sertifikat dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Mendefinisikan aroma dan cita rasa kopi dengan lidah dan hidung tak terkait dengan selera. Sebuah proses yang ganjil, karena menyilangkan proses kualitatif menjadi kuantitatif. Dugel Hariyadi, salah satu ahli tester di laboratorium mutu Kebun Kalisat Jampit, PT Perkebunan Nusantara 12, Desa Jampit Kecamatan Sempol, Bondowoso, butuh waktu setahun untuk belajar, dan dua tahun untuk menjadi lebih mahir. “Yang membedakan antara kopi luwak dengan kopi biasa adalah aftertase (rasa yang tersisa di lidah).Kalau diibaratkan begini: jika kita minum kopi biasa, perjalanan dari sini sampai Bondowoso, cita rasa itu hilang. Tapi kalau kopi luwak, cita rasanya bisa terbawa sampai Surabaya. Jadi lebih lama,” kata Dugel, saat kami bertemu dengannya medio 2011 lalu. Kopi luwak Arabika dan robusta pun berbeda. “Kopi luwak robusta lebih kuat di body (kesan), Arabika lebih kuat di acidity,” kata Dugel. Kopi robusta dan arabika PTPN 12 memiliki pasar ekspor yang kuat. Cita rasa adalah sesuatu yang misterius. Masalah subjektivitas ini bisa menjadi perkara pelik. Mungkin yang tak boleh dilupakan adalah komunikasi antara produsen dan pembeli. Ini pelajaran klasik dalam ilmu ekonomi mana pun. Namun apa yang klasik tidak menjadi klise. Komunikasi membangun kepercayaan, trust. Dan pada dasarnya di tengah beragamnya pilihan, komunikasi menjadi faktor pengikat agar pembeli tak lari. []

Rabu, 15 Juni 2011. Sebuah Festival Kopi Nusantara digelar oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslit Koka) Indonesia di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Sejumlah pemilik kafe dari Australia dan Jakarta diundang untuk menguji cita rasa kopi jenis robusta dan arabika dari pelosok nusantara, seperti Aceh, Jambi, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua, dan Garahan Kecamatan Silo, Jember. Kopi Garahan adalah bagian dari tafsir atas kemakmuran di tepi hutan Baban Silosanen. Di sana kemiskinan tak bisa ditafsirkan dengan angka statistik. Tak bisa pula diidentifi kasi dengan kriteria baku nan kaku. Di sana, ekonomi dan kesejahteraan hadir dengan kriteria kebahagiaan. Mungkin juga kebanggaan. Baiklah, mari kita mulai. Desa itu bernama Mulyorejo, terletak di Kecamatan Silo, dan meliputi lima dusun: Baban Timur, Baban Barat, Baban Tengah, Batu Ampar, dan Silosanen. Sebanyak 5.106 keluarga di desa tersebut tinggal di tepi, bahkan di dalam hutan. Jalan menuju ke sana tak beraspal. Jika musim kemarau, laju sepeda motor dan kendaraan roda empat menerbangkan debu ke mana-mana, menempel ke pakaian. Baju warna putih bisa berubah agak kecoklatan. Saat musim hujan, jalanan berubah menjadi lumpur. Warga terpaksa membelitkan rantai ke roda sepeda motor mereka, agar tak mudah tergelincir saat melewati jalanan. Warga setempat punya humor kecil untuk jalanan desa mereka: ini jalan cinta. Disebut jalan cinta, karena itu tadi: debu menempel ke baju saat kemarau, dan lumpur lengket ke pakaian saat hujan. Lengket seperti orang jatuh cinta. Desember 2007, Komandan Distrik Militer 0824 Letnan Kolonel Infantri Mulyoaji mengunjungi hutan Baban. Ia sempat terjatuh dari sepeda motor trail yang ditungganginya, saat melewati jalan yang sulit. Ia terpaksa memakai kayu penyangga untuk berjalan beberapa bulan. Tulang kakinya retak. Tahun 1998, saat reformasi bergulir, rakyat mulai menduduki lahan perkebunan dan hutan yang semula dikuasai negara. Di Jember, ada 50 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang beranggotakan sekitar 52 ribu orang yang tersebar di 16 kecamatan. Masingmasing LMDH bisa memproduksi kopi sekitar 100-150 ton setiap tahun. Mereka bercocok tanam di lereng Argopuro, Raung, daerah Baban Silosanen, dengan rata-rata luas di kawasan pemangku desa 600 – 1.500 hektare. Kalau dikalkulasi, masing-masing LMDH yang bergiat di budidaya kopi, bisa menghasilkan 300 ton kopi per tahun. Satu hektare lahan bisa menghasilkan 12 kuintal biji kopi. Dengan biaya produksi Rp 2 – 3 juta per hektare, petani bisa meraup pemasukan Rp 40 – 50 juta per hektare. Sebagian besar warga di Baban Silosanen berbudidaya tanaman kopi di hutan dan tepian hutan. Dengan kisaran harga penjualan kopi sekitar Rp 17-20 ribu per kilogram di tingkat tengkulak, mereka merasa cukup makmur. Bagi orang kota dan para petugas Badan Pusat Statistik, sebagian besar warga Mulyorejo masuk kategori miskin. Rumah mereka terbuat dari bambu. Sebagian ada yang memakai batu bata, memang. Namun di bagian lain dinding rumah tetap terbuat dari anyaman bambu. Sebagian besar rumah warga juga tidak teraliri listrik. PLN masih memiliki arti Perusahaan Listrik Negara, dan belum berubah menjadi Perusahaan Listrik Nekat yang mau membangun instalasi jaringan di sana dengan ongkos besar. Pemerintah Kabupaten Jember hanya mampu memberikan bantuan pembangkit listrik tenaga surya untuk kurang lebih 200 rumah. Sekitar 30 persen warga patunganmenggunakan generator. Namun sebagian lainnya menerangi malam dengan lampu teplok alias ublik. Minyak tanah sulit didapat. Sekalipun ada, harganya mencapai Rp 15 ribu per liter. Mereka akhirnya berinovasi dengan menggunakan aki sebagai pemicu tenaga listrik. Tentu saja, lampu tak sangat benderang di sana. Rata-rata pengeluaran mereka per hari untuk membiayai kebutuhan hidup paling banter sekitar Rp 15 ribu, bahkan kurang. Bank Dunia menyatakan, kelompok kelas menengah mengeluarkan duit per kapita per hari 2-20 dollar Amerika Serikat, atau sekitar Rp 19 – 180 ribu per hari. Jadi jelas, para warga di tepi hutan itu bukan bagian dari kelas menengah versi Bank Dunia. Jika hanya menghitung elemen pangan sebagai kebutuhan hidup. Namun, kehidupan tak hanya urusan makanan seadanya, tapi juga kelayakan. Departemen Sosial memberikan batasan garis kemiskinan pada sejumlah rupiah untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2.100 kilo per kalori per orang setiap hari, dan kebutuhan di luar pangan seperti rumah, pendidikan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Pencapaian pendidikan jelas membutuhkan biaya tak sedikit. Infrastruktur sekolah di Mulyorejo hanya memenuhi kebutuhan pendidikan sembilan tahun. Di sana hanya ada sekolah dasar, dan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dalam satu atap. Warga tak terlampau peduli dengan pendidikan formal. Secara umum, Kecamatan Silo menempati urutan dua jumlah anak yang tidak bersekolah dari 31 kecamatan. Mereka yang tidak bersekolahini termasuk dalam kelompok rumah tangga atau individu dengan kondisi kesejahteraan sampai dengan 30 persen terendah di Indonesia. Tabungan ikut menentukan tingkat kesejahteraan. Namun mayoritas warga di tepi hutan tak memiliki akses perbankan. Layaknya masyarakat pedesaan di Jember, khususnya Madura,kelebihan uang dirupakan dalam bentuk pembelian ternak sapi. Sapi ini bisa dirawat orang lain (digaduh), dengan imbalan bagi hasil saat penjualan, atau sang perawat mendapat bagian satu ekor anak sapi jika sapi itu beranak. Namun singkirkan dulu masalah pembelian sapi sebagai bagian dari model tabungan atau investasi tradisional. Saat musim panen kopi tiba, warga mendapat pemasukan lumayan besar. Namun prioritas utama bukanlah membeli sapi atau barang-barang kebutuhan lain. Mereka lebih suka menggunakan uang penjualan kopi untuk mendaftarkan haji bersama-sama. Sekitar 70 persen warga Dusun Baban Barat sudah berhaji. Warga agak enggan menggunakan uang hasil penjualan kopi untuk memperbaiki rumah. Biaya bahan material bangunan bisa tiga kali lipat harganya. Ini dikarenakan jauhnya jarak pemukiman warga dengan pusat kota kecamatan. Maka, tak heran jika kemudian sekitar 70 persen rumah warga masih terbuat dari bambu dan berlantai tanah liat. Ini bukan mendramatisasi lirik lagu kelompok musik rock God Bless: ‘Hanya bilik bambu tempat tingga; kita, tanpa hiasan tanpa lukisan…beralaskan tanah. Namun semua ini milik kita’. Kondisi itu memang sudah cukup membuat mereka bahagia. Pembukaan lahan kopi di hutan berarti perbaikan perekonomian. Masyarakat di sana tidak bingung mencari makan dan tak perlu jadi urban ke kota.

Kabupaten Jember di samping terkenal dengan obyek wisata alamnya kini, dimasa silam juga telah memiliki peradaban luhur yang dibuktikan dengan banyaknya peninggalan megalitikum. Peninggalan prasejarah ini banyak diminati oleh para peneliti purbakala dan dijadikan obyek wisata sejarah.