Awalnya adalah sebuah imajinasi. Medio 2010, Rahmat Hidayatullah mempromosikan sebuah kedai kopi imajiner di jejaring sosial Facebook. Banyak yang tertarik dan bertanya lokasi kedai itu. Rahmat pun berpura-pura bilang: masih rahasia. “Sampai ada kawan yang bilang, mana ada promosi tapi lokasi dirahasiakan,” katanya.Ini memang model promosi ganjil yang tak disengaja. Rahmat memang bercita-cita mendirikan kedai kopi. Namun ia belum menemukan lokasi yang sesuai, Iseng iseng ide itu dilontarkan, dan ternyata tanggapan kawan-kawannya lumayan besar.

Bermodal tekat dan semangat, Rahmat membuka kedai kopi di salah satu sudut kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember. Kebetulan ia kuliah di sana. Tak butuh waktu lama, ia kebanjiran pelanggan. Namun pengelola kampus keberatan dan Rahmat juga tak bisa bebas, karena ada jam malam di kampus.Beruntung, ada orang berduit yang menawarkan kerjasama. Orang ini sebenarnya sudah menanam modal untuk bikin kedai kopi. Kesalahan manajemen membuat kedai itu merugi, dan Rahmat digandeng. Maka dibukalah kedai kopi di Jalan Mastrip yang belakangan disebut sebagai Warung Cak Wang, pada 24 Oktober 2010.

Kedai milik Rahmat mudah diingat karena nama dan logonya. Nama ‘Cak Wang’ adalah nama khas Jawa Timur. ‘Cak’ adalah sapaan akrab untuk sahabat yang dianggap saudara tua. Sementara ‘Wang’, Rahmat sendiri tidak tahu maksudnya. “Tidak ada sejarahnya, asal muncul saja,” katanya.Logo komikal sosok pria jenaka berasal dari seorang desainer novel asal Jakarta. Rahmat meminjamnya karena faktor perkawanan.

Rahmat belajar banyak dari warung-warung kopi tradisional di seputar kampus. Warung warung itu memang bertahan, namun dengan pertumbuhan minim. Mereka memang memiliki pelanggan setia karena ikatan emosional. Namun mereka kesulitan menjaring konsumen baru di tengah berubahnya karakter penikmat kopi.

Secangkir kopi sudah menjadi gaya hidup dan bukan sekadar minuman biasa. “Kalau dulu orang ngopi ya hanya sekedar ngopi. Sekarang orang mulai pintar mencari mana warung kopi yang enak, suasana yang enak untuk kongkow. Sekarang bagaimana menggabungkan ikatan emosional, manajemen, dan marketing,” kata Rahmat. Warung Cak Wang menciptakan imaji bukan hanya tempat meneguk kopi biasa, tapi arena aktivitas komunitas. Ini tak lepas dari semakin variatifnya kultur ngopi alias minum kopi di kedai. “Dulu ngopi hanya tempat ngobrol, tapi sekarang bisa jadi tempat berproses kreatif, ngobrol masalah pekerjaan, meeting point. Kita tinggal menyesuaikan dengan pasar saja,” kata Rahmat.

Di Warung Cak Wang selalu muncul ideidel liar dan unik, seperti acara retro ‘Sehari 40 Tahun Lalu’. Para pengunjung kedai mengenakan pakaian tempo doeloe alias jadul era 1960 dan 1970-an. Acara seperti ini membuat konsumen memiliki keterikatan emosional. Belum lagi acara-acara diskusi khas mahasiswa yang digelar di sana. Namun terciptanya imaji Warung Cak Wang sebagai tempat rujukan komunitas mahasiswa tak lantas dengan urusan mendasar sebuah kedai kopi: kualitas kopi. Rahmat memilih meningkatkan standar produk dengan menyediakan berbagai kopi racikan dari Aceh, Papua, Wamena, Flores, Toraja, dan lain-lain. Ada keinginan untuk memberikan edukasi kepada konsumen yang sebagian besar mahasiswa.

“Faktor yang membuat kopi mudah atau susah diterima adalah taste (cita rasa). Kopi enak dan tidak enak itu relatif,” kata Rahmat. Konsumen sudah terbiasa dengan kopi instan. Warung Cak Wang mencoba memberikan informasi tentang berbagai jenis kopi racikan murni. Saat ini, Warung Cak Wang mencoba berburu kopi rakyat jenis Arabika langsung ke petani. Rahmat ingin menyajikan kopi segar yang begitu selesai digiling sendiri dengan mesin langsung diseduh. Suplai biji kopi diperoleh dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia dan petani Bondowoso. Dalam waktu dekat, Warung Cak Wang menjajaki kerjasama dengan petani yang membudidayakan kopi organic di Garahan, Kecamatan Silo, Jember. []