Di tengah deru debu, di sebuah lapangan sepakbola di Desa Jatiroto Kecamatan Sumberbaru, bocah-bocah itu berpacu menempuh jarak seratus meter. Kecepatannya bisa mencapai 60 kilometer per jam. Sama dengan kecepatan rata-rata sepeda motor di jalanan kota. Mereka tidak menderu di atas kendaraan bermotor, melainkan mengendalikan sapi yang berlari kencang. Inilah tradisi karapan sapi. Selama ini orang lebih banyak mengenalnya sebagai tradisi di Pulau Madura. Karapan sapi atau adu balap sapi lebih dikenal sebagai bagian dari tradisi di Pulau Madura. Namun, Bulan Berkunjung Jember menghadirkan tradisi itu di Jember. Karapan sapi boleh diartikan pacuan sapi, dan menjadi kebiasaan turun-menurun. Jember dikenal sebagai daerah Pendalungan, yang merupakan pertemuan dua etnis besar di Jawa Timur: Jawa dan Madura. Dalam hal ini, karapan sapi menjadi relevan untuk dihadirkan. Warga Madura di Jember sudah terbiasa dengan karapan sapi. Menurut EF Joachim, peneliti Belanda, karapan sapi sudah menjadi permainan tradisional yang populer di Madura sejak sejak 1893. Namun, saat itu sang juara adalah joki yang mampu menguasia pasangan sapinya. Sementara saat ini adalah adu lomba cepat menuju garis finish. Yang menarik perhatian, tentu saja, adalah patra joki anak-anak yang berusia 12-15 tahun. Tak ada yang menyangka mereka bisa ngebut, mengendalikan sapi, tanpa pengaman apapun. Tanpa helm. Tanpa sepatu. Sebuah tantangan penuh risiko. Tantangan penuh nyali. Sebelum berlaga, mereka bermain-main layaknya anak-anak pada umumnya. Tidak ada persiapan khusus menjelang pertandingan. Mereka meriung di tenda yang didirikan keluarga mereka di lokasi lapangan. Ada yang makan dengan lahap di tengah terik mentari. Tak ada yang tahu bagaimana keberanian itu bisa tumbuh. Orang tua mereka sebenarnya punya kecemasan. Namun ini sebuah tradisi yang membuat mereka surut berpantang dan membiarkan anak-anak mereka memacu kecepatan di siang itu.