Di kolong jembatan Jalan Mastrip, Kabupaten Jember, lagu-lagu dengan irama menghentak terdengar dari perangkat audio. Sejumlah meja yang masing-masing dikelilingi empat kursi di beberapa tempat sudah dipenuhi anak-anak muda yang meriung. Televisi menayangkan film Beautiful Creature. Satu jam lebih duduk di sini sembari menikmati secangkir kopi, kita sama sekali tak akan merasakan tengah kongkow-kongkow di bawah jembatan. Tak terdengar sama sekali lalu lalang kendaraan bermotor di atas sana. Jika suara musik dimatikan, yang terdengar justru gemericik aliran Sungai Bedadung.

Kafe Kolong muncul dari ide liar Johanes Kris Astono, seorang pegiat organisasi pecinta alam Program Diploma Fakultas Ekonomi Universitas Jember. Pria kelahiran Jember1 Desember 1970, ini ingin punya warung kopi sendiri untuk nongkrong. Namun ini bukan kedai sembarangan: terdengar suara gemericik air sungai yang menemani kenikmatan minum secangkir kopi. Semula Kris ingin membangun kedai kopi di tepi Sungai Bedadung. Namun keinginan itu ditutupnya rapat-rapat, karena terlalu berisiko dan mahal. Saat musim hujan tak ada yang bisa menerka sampai sejauh mana air sungai akan naik. Selain itu butuh ongkos tak sedikit untuk membangun bangunan di sana. Opsi menyewa tempat dibuang jauh-jauh, karena tak ada persewaan lokasi murah di area sekitar kampus di kawasan Tegalboto.

Saat ngobrol di kolong jembatan Mastrip, ide itu pun muncul: kenapa tidak memanfaatkan tempat tersebut. Kris sudah sangat mengenal kolong jembatan itu. Setiap kali berarung jeram di Sungai Bedadung bersama kawan-kawannya, ia selalu mendarat di sana. Jam tiga sore, angin semilir membuat kolong jembatan itu sejuk. Tekad sudah terpatri. Masalahnya, kolong jembatan itu masih kumuh karena digunakan sejumlah pemulung untuk meletakkan barang-barang. Kris pun mendekati mereka dan mengutarakan niatnya menjadikan kolong jembatan sebagai tempat mencari rezeki. Para pemulung itu pun bersedia memindahkan barang-barang dari sana. Berikutnya, Kris menghubungi ketua rukun tetangga dan rukun warga setempat untuk meminta izin. Keduanya mempersilakan asalkan kondisi terang-benderang. Sejumlah warga sekitar juga setuju. Kris pun mengecat dinding kolong dan membersihkannya. Maka 27 April 2013, Kris pun menggelar tasyakuran dengan mengundang warga sekitar untuk meresmikan kedai kopinya. Bulan kemarin,ia memanfaatkan kolong sebelah untuk kedai juga.

Soal nama, Kris sempat mempertimbangkan nama berbau Belanda: Kolong Café Huis. Namun karena dirasa sulit dihapal, akhirnya ia memilih nama yang lebih sederhana: Kafe Kolong. Ia berkongsi dengan Johanes Riyanto, kawannya sesama pecinta alam. Tak ada hambatan berarti dalam usahanya itu. Mulanya memang ada suara-suara minor yang mempertanyakan penggunaan kolong jembatan sebagai kafe. Namun Kris jalan terus. Ia memberikan penjelasan dari mulut ke mulut tentang kedainya itu. Ia menerapkan aturan ketat kepada para pengunjung: jangan bawa minuman beralkohol. Tamu-tamu berdatangan dan menikmati suasana di sana. Mreka ngobrol, berdiskusi, dan bahkan menggelar rapat di sana.

Kafe Kolong buka mulai pukul empat sore hingga satu dini hari setiap hari. Semula, kafe itu dibuka hingga pukul empat dini hari. Namun Kris mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi waktu. “Capek juga kalau melayani satu meja hingga pukul empat pagi,” katanya. Setiap hari, rata-rata 200 orang berkunjung ke Kafe Kolong. Rabu, Kamis, Jumat adalah hari ramai pengunjung. “Kalau malam Minggu pengunjung memang banyak, tapi omzet tidak terlalu tinggi, karena mereka hanya lama nongkrong,” kata Kris.

Kafe Kolong menjadi salah satu tempat yang dituju anak-anak muda dari luar kota yang datang ke Jember. Mereka berasal dari Surabaya, Malang, Jogjakarta dan lain-lain. Semua memuji dan suka dengan suasana kafe itu. “Mereka bilang tidak ada tempat seperti ini di tempat lain,” kata Kris. Ada tiga keunggulan Kafe Kolong. “Di sini memang di bawah jembatan, namun suara kendaraan tak terdengar ramai. Harga minuman dan makanan juga tak mahal. Ketiga, dapur kami kelihatan dan racikan apapun terbuka. Tamu bisa melihat bahwa pelayanan kami higienis, perabotan kami bersih,” kata Kris.

Pengunjung Kafe Kolong tak selalu datang untuk menikmati kopi, tapi hanya nongkrong. Mereka menemukan tempat nongkrong yang pas. “Rata-rata mereka di sini bukan penikmat kopi sejati. Mereka ngopi asal ngopi karena kopi di sini memang murah,” katanya. Semalam Kris bisa menjual 60 gelas kopi. Selebihnya adalah minuman dingin. “Mereka menikmati nongkrongnya bukan menikmati kopinya. Kopi seakan-akan hanya pelengkap. Mereka tidak bisa membedakan ini kopi apa, itu kopi apa. Mungkin mereka perokok, yang lebih nikmat merokok dengan ngopi. Kami menyajikan tempat berbeda. Itu yang menjadi kelebihan di sini, tidak ada filosofi macam-macam,” katanya. []